Selasa, 30 Maret 2010

Implikasi Penahan

Adanya perbedaan antara syarat dan alasan dalam melakukan penahanan. Karena syarat di satu sisi, ada alasan di sisi yang lain. Jadi yang tercantum di dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP itu adalah alasan subyektif dalam melakukan penahan, dimana alasan ini adalah hanya salah satu dari syarat untuk melakukan penahanan. Kalau diizinkan saya ingin meng-eksplore lebih jauh apa yang dimaksud dengan syarat melakukan penahanan.
Adanya syarat untuk melakukan penahanan atau syarat-syarat melakukan penahanan, ini sehubungan dengan kewenangan hakim praperadilan untuk menguji sah atau tidaknya penahanan. Jadi sah atau tidaknya penahanan menurut pendapat saya adalah apakah penahanan itu memenuhi syarat apa tidak. Ada empat syarat di sini untuk melakukan penahanan.
Yang pertama adalah penahanan, itu harus dilakukan untuk suatu tujuan tertentu. Sebenarnya KUHAP sendiri sudah menentukan tujuan dilakukannya penahanan yaitu penahanan hanya dilakukan untuk penyidikan, penahanan dilakukan untuk kepentingan penuntutan dan penahan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Dalam hal penyidikan, maka penahanan dapat dilakukan apabila tujuan dilakukan penyidikan itu dapat terpenuhi. Menurut ketentuan KUHAP penyidikan adalah mencari dan mengumpulkan barang bukti untuk membawa terang suatu tindak pidana guna menemukan tersangkanya. Dengan demikian, maka penahanan bisa dilakukan dalam hal untuk mencari dan mengumpulkan barang bukti dan menemukan tersangka pelaku tindak pidana. Ini menjadi confuse kalau kita lihat dari pengertian penahanan itu sendiri.
Yang kedua adalah selain tujuan juga adanya alasan, jadi tadi Pak Kuasa Pemohon mengatakan syarat, saya menggunakan istilah alasan. Ada dua alasan di sini, alasan subyektif dan alasan obyektif. Alasan subyektif itulah yang ditentukan di dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Setelah itu adanya kekhawatiran bagi penyidik atau penuntut umum ataupun hakim akan tersangka atau terdakwa ini melarikan diri, mengulangi tindak pidananya atau merusak barang bukti. Cuma dalam praktik penentuan adanya alasan yang subyektif ini tanpa didasarkan pada suatu kriteria yang obyektif. Jadi semata-mata didasarkan pada subyektifitas dari pejabat yang melakukan penahanan. Sebenarnya anak kalimat ”bukti yang cukup” yang ada di dalam ketentuan Pasal 21 ayat (1) itu bukan hanya ditujukan terhadap tindak pidananya, jadi orang ditahan bukan hanya ada bukti yang cukup terhadap dia melakukan tindak pidana. Tetapi sebenarnya bukti yang cukup bahwa dia akan melarikan diri. Bukti yang cukup bahwa dia akan mengulangi tindak pidananya, atau bukti yang cukup bahwa dia akan merusak barang bukti. Jadi kata bukti yang cukup itu di sini bukan hanya ditujukan terhadap tindak pidananya, tetapi juga adanya yang di dalam literatur disebutkan sebagai keadaan yang konkret dan nyata bahwa tersangka ini akan melarikan diri. Memang ketentuan Pasal 21 ayat (1) ini seolah-olah adanya bukti yang cukup ini semata-mata ditujukan kepada tindak pidananya. Sehingga ketika penyidik berkesimpulan telah ada bukti yang cukup terhadap tindak pidananya, maka dia berwenang menahan, padahal juga diperlukan bukti yang cukup untuk menunjukkan bahwa dia akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti dan mengulangi tindak pidananya, ini yang kedua.
Selain itu, masih yang kedua selain alasan yang sifatnya subyektif, ada juga alasan yang sifatnya obyektif. Dalam hal ini adalah tindak pidana-tindak pidana yang sifatnya arested crime tindak pidana yang dapat ditahan. KUHAP menentukan tindak pidana yang ancaman tindak pidananya 5 tahun atau lebih, atau beberapa tindak pidana yang ditentukan secara khusus.
Yang ketiga, jadi syarat melakukan penahanan itu adalah adanya penahanan yang dilaksanakan menurut prosedur yang ditentukan oleh KUHAP, menurut dan dalam hal dan cara yang ditentukan oleh KUHAP, oleh undang-undang. Dalam hal ini adanya surat perintah penahanan disertai dengan menguraikan alasan penahanan dan dimana ditahan dan seterusnya dan seterusnya..
Yang keempat, sebenarnya yang juga tidak kalah pentingnya adalah berkenaan dengan kewenangan lembaga yang melakukan penahanan. Jadi dilihat dari pejabat yang melakukan kewenangan memang mempunyai kewenangan untuk melakukan penahanan, ini yang saya sebut sebagai syarat-syarat melakukan penahanan untuk kemudian menilai sah atau tidaknya penahanan yang dilakukan oleh seorang pejabat tertentu. Namun sayangnya dalam praktik umumnya hakim praperadilan itu hanya memeriksa masalah-masalah yang berhubungan dengan administratif. Jadi hanya memeriksa ada tidaknya alasan yang sifatnya obyektif di sini, dan memeriksa apakah penahanan telah dilaksanakan menurut peraturan perundangan yang berlaku. Jadi tidak seluruh syarat-syarat penahanan ini telah diperiksa untuk menunjukkan ada sah atau tidaknya penahanan. Kenapa begini? Ini berpangkal tolak dari rumusan undang-undang itu sendiri. Jadi memang rumusan undang-undangnya ya semata-mata memang persyaratan agar hakim praperadilan memeriksa hal-hal yang sifatnya administrative, tanpa lebih jauh mencampuri hal-hal yang sifatnya substansial dari penahanan itu yang sebenarnya ada di dalam syarat yang obyektif tadi. Ini yang saya lihat berdasarkan pengetahuan saya dan juga pengalaman saya berkenaan dengan hal ini, kerapkali pemeriksaan di praperadilan sudah beberapa kali saya memberikan keterangan ahli di praperadilan memang hanya semata-mata memeriksa apakah ada perintah penahanan atau tidak. Jadi hal-hal yang sifatnya administratif belaka, tanpa memeriksa hal-hal yang sifatnya substansial. Apakah memang alasan-alasan yang subyektif tadi ada pada diri tersangka atau terdakwa itu atau tidak demikian.

> Pendapat : Dr. CHOIRUL HUDA, S.H., M.H
disampaikan pada RISALAH SIDANG PERKARA NO. 018/PUU-IV/2006 PERIHAL PENGUJIAN UU NO. 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)
TERHADAP UUD 1945 - ACARA MENDENGAR KETERANGAN AHLI DARI PEMOHON (IV)